Laman

Minggu, 29 Mei 2011

Titip Rindu Untuk Ayah

Dimana akan kucari
Aku menangis seorang diri
Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi

Siang hari itu, sinar matahari pagi begitu menyengat. Langit pun terlihat biru dengan dihiasi awan-awan berwarna putih salju. Bagus terlihat baru saja pulang dari sekolah. Suhu udara yang panas membuatnya kehausan dan berkeringat. Ia segera membuka lemari es dan mengambil segelas air dingin. Ia meminumnya dalam sekali teguk.
“Bagus, kamu sudah pulang?”
Bagus terdiam saat melihat ibunya membawa sebuah koper berwarna cokelat dan berukuran tidak cukup besar keluar dari kamarnya.
“Makan siang kamu sudah ibu siapkan. Nanti buat makan malam, kamu tinggal hangatkan saja. Ingat, apinya jangan terlalu besar, ya.”
Beberapa hari yang lalu, ibu Bagus menerima tugas dari kantornya untuk pergi ke luar kota selama dua hari. Itu artinya, ia harus meninggalkan Bagus lebih dari satu hari. Berat baginya jika harus meninggalkan bocah berumur delapan tahun tinggal sendirian di rumah. Namun, ia tidak mempunyai pilihan lain. Sejak ayahnya meninggal setahun yang lalu, ibunya bekerja untuk menghidupi kebutuhannya.
“Uang jajan kamu juga sudah ibu siapkan, ada di atas meja belajar kamu. Ingat, jangan jajan sembarangan, ya.”
Tin! Tin!
Terdengar suara klakson mobil dari halaman rumah. Ibu Bagus terlihat melihat ke arah jendela dan melihat sebuah mobil sudah menunggunya.
“Mobil jemputan ibu udah datang.”
Ibu Bagus terdiam saat ia tidak medengar sepatah kata apapun dari anak laki-lakinya. Ia menghela napas lalu berjalan menghampiri Bagus yang sedang berdiri sambil diam memperhatikannya. Ia merendahkan dirinya. Ia menatap mata Bagus lalu membelai rambutnya dengan lembut.
“Kamu yakin, gak apa-apa kalo ibu tinggal?”
Bagus mengangguk.
Ibu Bagus tersenyum dan memeluk anaknya dengan hangat. Wanita itu lalu mencium keningnya.
“Ah, ibu…” gerutu Bagus sambil membersihkan keningnya.
Ibu Bagus melihat ke arah foto mendiang suaminya. Ia tersenyum sambil mengusap foto tersebut.
“Ayah, tolong jaga Bagus selama ibu pergi, ya.”
Tin! Tin!!
“Tadi ibu udah telpon tante. Nanti malam tante yang akan jaga kamu.”
“Iya.”
Ibu Bagus tersenyum. Ia mengambil kopernya lalu menuju mobil yang sudah menunggunya. Di belakangnya, Bagus berjalan mengikuti. Ia lalu mencium tangan ibunya.
“Ibu.”
“Ya?”
“Em … hati-hati.”
Ibu Bagus tersenyum lalu membelai rambut Bagus. Tidak lama kemudian, mobil itu pun segera pergi meninggalkan rumah itu. Bagus terdiam cukup lama sambil memandangi bayangan mobil yang mulai perlahan menghilang dari pandangannya. Bagus segera berjalan memasuki rumah. Ia membuka tudung saji dan melihat makanan yang sudah dimasak oleh ibunya. Tapi, perutnya belum merasa lapar ia pun menutup tudung saja tersebut.
Kemudian, ia menarik sebuah bangku lalu membuka lemari. Ia melihat ibunya juga sudah menyediakan makanan-makanan ringan kesukaannya. Ia segera mengambil sebungkus keripik singkong kesukaannya. Ia menyalakan televisi dan mulai melahap makanan yang dibawanya.
 
Ctarr! Ctarr!!
Malam harinya, hujan mulai turun. Petir dan kilat pun menghiasi buruknya cuaca malam itu. Bagus terlihat sedang mengerjakan pekerjaan rumah di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun tante yang ditunggunya dari tadi belum datang juga.
Ia segera keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Anak laki-laki itu lalu memastikan bahwa tidak ada kompor yang dalam keadaan menyala. Ia juga mengunci semua pintu rumahnya.
Beres! pikirnya.
Tiba-tiba foto mendiang ayahnya terjatuh. Bagus terkaget. Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan foto mendiang ayahnya. Melihat foto itu, mengingatkannya pada kejadian setahun yang lalu, saat ayahnya dikabarkan tewas dalam kecelakaan kerja. Masih teringat jelas diingatannya, ibunya menangis sambil memeluk foto ayahnya. Begitu juga dengan dirinya yang tidak bisa menghentikan tangisannya saat melihat tubuh ayahnya terbujur kaku di hadapannya. Bagus menghela napas, ia segera membersihkan kaca bingkainya lalu mendekapnya. Rasanya ia sangat rindu pada mendiang ayahnya. Ia rindu saat-saat ia bermain bersama mendiang ayahnya. Tanpa ia sadari, ia pun tertidur.
 
Keesokan paginya, saat Bagus tersadar ia sudah berada di atas tempat tidur. Ia menyadari bahwa ia tidur sambil mendekap foto mendiang ayahnya. Tiba-tiba, ia mencium bau masakan.
“Ibu? Ibu udah pulang?”
Ia segera berlari menuju dapur dan terkejut saat melihat sosok orang yang sedang tersenyum ke arahnya.
“Bagus, kamu udah bangun? Ayo, sarapan dulu.”
“A … a … ayah?”
“Bagus, kamu kenapa?”
Bagus merasa bingung. Apakah ini benar-benar kenyataan atau hanya sekedar mimpi. Ia melihat sosok ayahnya ada di hadapannya saat ini.
“Ta … tapi, bukannya ayah udah …”
“Hm? Emangnya ayah kenapa?”
Tiba-tiba, air mata Bagus berlinang. Ia segera berlari menuju ayahnya dan memeluknya dengan erat.
“Aduh, sejak kapan anak laki-laki ayah jadi manja kayak ini?”
Bagus tidak peduli lagi, ini kenyataan atau mimpi. Ia merasa sangat senang bisa bertemu dengan ayahnya. Ia senang bisa mencium bau tubuh ayahnya. Ia senang bisa merasakan sentuhan ayah yang sudah lama sangat dirindukannya.
“Hari ini kamu libur kan?” tanya ayah Bagus.
“Hah?”
“Kita jalan-jalan, yuk!”
Bagus tersenyum lalu mengangguk. Mereka berdua pun lalu pergi ke kebun binatang. Disana mereka menghabiskan waktu sambil berkeliling melihat berbagai koleksi binatang. Setelah itu, mereka pun menikmati makan siang mereka. Bagus terlihat memisahkan wortel dari makan siangnya.
“Kamu masih gak suka sama wortel? Wortel itu bagus lho buat kesehatan kita, terutama mata.”
“Aku tahu. Ibu juga udah sering ngomong itu, tapi aku tetep gak suka sama wortel.”
“Ayah pikir, kamu gak suka sama wortel soalnya temen kamu bilang kalo wortel itu gak enak, iya kan? Gara-gara itu, kamu jadi gak pernah makan wortel.”
“Kok, ayah bisa tahu?”
Ayah Bagus tersenyum lalu membelai kepala Bagus.
“Kamu kan anak ayah, jadi ayah bisa tahu semuanya. Bagus, gak semua yang diucapkan sama temen kamu itu benar. Wortel itu gak seperti yang kamu bayangkan.”
“…”
“Gimana? Kamu berani coba? Kalo kamu bisa ngabisin semua wortel yang ada di piring kamu, nanti ayah beliin es krim.”
Bagus memandangi wortel yang ada di hadapannya. Ia menutup matanya dan perlahan-lahan ia mulai memakan wortel-wortel itu. Ayahnya terlihat tertawa kecil melihat tingkah Bagus. Bagus mulai mengunyah dan menelannya.
“Gimana?”
“Enak, yah.” ujar Bagus lalu melanjutkan makanannya.
Ayah Bagus tersenyum lalu membelai kepala Bagus.
 
Sore harinya, Bagus terlihat sedang bermain bola bersama ayahnya. Ia tertawa gembira saat ayahnya menggelitik perutnya. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan bagi Bagus. Ia tidak akan melupakannya, ia sangat menikmati saat-saat bersama ayahnya.
Malam harinya, Bagus terlihat berbaring bersama ayahnya. Ayahnya terlihat sedang menceritakan sebuah dongeng pada Bagus. Dongeng tentang seekor kelinci yang ditinggal oleh ibunya. Kelinci yang tidak bisa bertahan hidup karena selalu tergantung pada ibunya, sehingga kelinci itu meninggal karena tidak bisa menyelamatkan dirinya dari serangan hewan buas.
“Kelincinya kasian ya, ayah.”
“Iya, kasian sekali.”
“…”
“Bagus, ingat kamu bukan kelinci kecil di dalam cerita tadi. Kamu itu Bagus, anak kebanggaan ayah. Kamu harus jadi anak yang baik dan pintar. Jangan pernah membuat ibu bersedih, ya. Jaga ibu.”
“Kenapa harus Bagus yang jaga ibu? Emangnya ayah mau kemana? Ayah gak akan pergi kan?”
Tiba-tiba Bagus memegang tangan ayahnya. Dengan erat, ia menggenggamnya seolah-olah ia tidak akan melepaskan tangan ayahnya itu.
“Ayah gak akan tinggalin Bagus kan?” tanya Bagus
Ayah Bagus tersenyum.
“Ayah akan selalu nemenin kamu. Disini.” ujar ayah Bagus sambil menunjuk ke arah dada Bagus.
Tidak lama kemudian, Bagus pun memejamkan matanya. Ia tertidur sambil tersenyum.
 
Keesokan harinya, ia pun terbangun. Ia tidak melihat ayahnya ada di sampingnya.
“Ayah?”
Bagus segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia pun mencium bau masakan.
Pasti ayah lagi buat sarapan, pikirnya.
Namun, Bagus terkejut saat melihat orang yang sedang memasak bukan ayahnya.
“Bagus, kamu udah bangun? Tante lagi buat sarapan, tunggu sebentar, ya.”
“…”
“Maaf, ya. Tadi malem tante gak bisa dateng, abis ujannya gede banget. Tadi malem kamu gak apa-apa kan?”
“Tante, ayah dimana?” tanya Bagus.
“Hah?”
“Tadi malem kan ayah tidur sama Bagus. Tapi sekarang ayah gak ada di kamar. Tante tau gak ayah pergi kemana?”
Tante Bagus berjalan menghampiri Bagus.
“Bagus, kamu pasti lagi mimpi, sayang. Ayah kamu kan …”
“Ayah pergi lagi, ya? Padahal kemaren ayah janji gak bakal ninggalin Bagus lagi.”
Tiba-tiba tante Bagus memeluk tubuh Bagus.
“Ayah kamu gak pergi, Bagus. Ayah kamu gak pernah ninggalin kamu. Ayah kamu selalu ada disini.” ujar tante Bagus sambil menunjuk ke arah dada Bagus.
 
Keesokan harinya, Bagus terlihat mengunjungi makam ayahnya bersama ibunya. Setelah selesai membersihkan makam, Bagus pun berdoa.
“Ayah, Bagus sekarang udah bisa makan wortel sama buncis yang aku gak suka. Bagus janji, Bagus bakal jagain ibu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar