Laman

Minggu, 29 Mei 2011

Geisha



Geisha…

Rata-rata penduduk di dunia ini pasti akan langsung membayangkan sosok perempuan pekerja seks kelas tinggi khas Jepang bila mendengar sebutan ini. Padahal pengertian geisha yang seperti itu adalah sebuah pengertian yang salah. Profesi geisha memang profesi perempuan yang paling banyak disalah-mengertikan oleh hampir semua penduduk dunia. Sangat disayangkan memang, karena citra negatif yang seperti itu sudah terlanjur melekat pada predikat seorang geisha.

Salah paham mengenai seorang geisha yang sudah terlanjur mendunia ini disebabkan karena misteri serba tertutup yang mengitari profesi ini dan adanya kode etik di antara kalangan para geisha untuk tidak membocorkan hal apa pun mengenai langganan mereka ke luar hanamichi (kawasan tempat berkumpulnya para geisha). Padahal sebenarnya, profesi geisha hampir tidak berbeda dengan para seniwati serba bisa. Kyoto disebut-sebut sebagai daerah yang paling banyak terdapat perkampungan geisha-nya. Dalam buku yang berjudul The World of Geisha, Kyoko Akihara menyebutkan bahwa seorang geisha tidak saja harus bisa menghibur tamu, tapi ia juga diharuskan bisa melakukan ritual upacara minum teh tradisional Jepang, menyanyi lagu tradisional Jepang, menari, memainkan alat musik, dan berbicara bahasa Jepang dengan santun.

Seorang geisha bisa saja mempunyai Danna, yaitu orang yang menjadi pelanggan potensial (secara finansial) dan mau membiayai kebutuhan hidup si geisha tersebut. Nah, mungkin dari sinilah awal mulanya timbul semacam paham bahwa geisha juga tidak berbeda dengan wanita simpanan para pejabat tinggi. Dengan kata lain, seperti wanita pekerja seks kelas tinggi. Sayangnya lagi, semakin lama memang semakin banyak bermunculan pekerja seks komersial yang sebenar-benarnya yang mengaku sebagai geisha. Karena itulah, lama kelamaan orang memandang profesi geisha itu tidak ada bedanya dengan pekerja seks. Apalagi, bila seorang geisha memiliki anak dari Danna-nya, si anak tersebut tidak akan diakui oleh si Danna (ayahnya). Soalnya, geisha tidak mendapat ikatan perkawinan sebagai bukti pengesahan statusnya sebagai seorang istrinya.

Jika kita berkilas balik ke masa lalu, tepatnya pada masa setelah Restorasi Meiji (1868-1912), justru banyak anak-anak perempuan yang ingin menjadi geisha. Kenapa? Sebab, pada masa itu reputasi geisha justru merupakan profesi terpandang di kalangan masyarakat. Citra geisha pada saat itu belum se-negatif di masa sekarang karena masih banyak wanita geisha yang menjalankan kode etiknya secara murni.

Profesi geisha mempunyai tingkatan dalam setiap tahapnya. Maiko adalah sebutan bagi geisha yang berusia belasan hingga sekita berumur dua puluh tahunan. Geiko adalah sebutan bagi seorang geisha yang lebih matang dan umumnya sudah tidak perawan. Sementara geisha yang sudah sepuh dan menjadi induk semang bagi para generasi berikutnya disebut Okasan (pengertiannya sama seperti “ibu”). Strata atau tingkata sosial dalam profesi geisha ini bisa terlihat dari kimono yang mereka kenakan. Umumnya, maiko mengenakan kimono dengan warna-warni cerah dan banyak dengan hiasan rambutnya dibandingkan dengan geiko atau pun okasan. Kimono maiko juga panjangnya bisa sampai menyentuh lantai sedangkan kimono geiko panjangnya hanya semata kaki.

Kimono geisha selalu memperlihatkan leher bagian belakangnya (tengkuk) hingga ke kulit bahu. Itulah yang membedakan kimono untuk geisha dan kimono biasa (kimono biasa justru menutup tengkuk). Soalnya, menurut orang Jepang, seorang wanita dikatakan seksi jika ia mempunyai kulit tengkuk dan bahhu yang halus serta bersih. Itu sebabnya, bagi geisha, memperlihatkan tengkuk dan bahu dianggap seksi. Tidak seperti pandangan orang-orang Barat yang menganggap betis atau tubuh semampai sebagai sesuatu yang seksi.

Source: Hanalala 16th Edition

Tidak ada komentar:

Posting Komentar